Bu,
Pelajaran Bahasa Jawa itu untuk Apa ,
to….
Skak ! Mati aku. Jawaban apa yang akan kuberikan ? Dua puluh tahun aku menjadi guru di
Tarakanita Magelang tak pernah ada seorang siswa yang bertanya seperti itu.
Kerongkonganku tercekat.
Amarah yang akan
berwujud cacian kutelan pelan – pelan. Bibir yang tertekuk ke bawah akhirnya kuubah.
Setelah kucerna, pertanyaannya tidak salah. Bahkan, tepat
dan kritis. Zaman telah berubah, peradaban telah bergeser. Ya. Untuk apa siswa
SMA mendapat pelajaran Bahasa Jawa setelah sekian lama memang tiada.
Pengalaman
baru ini bermula ketika Gubernur Jawa Tengah mengeluarkan SK No.895.5/01/2005
tentang Kurikulum Mata Pelajaran Bahasa Jawa Tahun 2004 untuk Jenjang
Pendidikan SMA/SMK.MA Negeri dan Swasta Provinsi Jawa Tengah
Akulah yang ketiban sampur untuk mengampu mata
pelajaran ini karena berbagai pertimbangan dari Kepala Sekolah dan
beberapa rekan guru. Salah satunya aku bisa
nembang.
Kukatakan
sebagai pengalaman baru karena selama dua puluh tahun ini aku mengampu mata
pelajaran Bahasa Indonesia. Meskipun serumpun, aku tetap merasa terbebani.
Alasannya sangat klise, yakni aku tentu disepelekan siswa, siapa yang akan menghormati guru Bahasa Jawa ?Ini
bukan berarti aku gila hormat, lho ! Beda dengan guru Kimia atau Matematika
yang memiki ribuan senjata untuk menggertak siswa. Alasan lain dari segi
struktur bahasa Jawa itu sendiri, Bahasa Jawa
memiliki karakteristik yang tidak sederhana. Ada unda
usuk atau gradasi.
Hal
yang makin membebaniku adalah latar
belakang budaya siswa yang kudidik berbeda - beda. Dari 156 siswa yang beretnis Jawa ada 50, Tionghoa ada
97,Sunda ada 7, dan Batak ada 2. Tambahan pula, setelah saya menanyai kelima
puluh anak Jawa tersebut yang berkomunikasi sehari – hari menggunakan bahasa
Jawa hanya 26 siswa. Jajak pendapat sekilas kulakukan. Hasilnya 78,9 % siswa
merasa kesulitan jika harus belajar bahasa Jawa. Wah, kalau boleh kusebut usaha
ini sama artinya dengan upaya membumikan bahasa Jawa di tengah multikultural
siswa.
Aku harus berbuat sesuatu. Aku yakin kesulitan ini justru memberi semangat untuk berani beda
dan aku percaya bahwa alah bisa karena
biasa. Kusiasati kurikulum yang ada.
Kusesuaikan dengan kondisi dan
kebutuhan siswa. Oleh karena itu ,aku berani
mengajar dengan berbagai cara.
Adol
crita. Cara klasik ini yang akhirnya kulakukan. Kuceritakan falsafah
Jawa yang tertuang dalam aksara Jawa yang berjumlah 20 seperti yang diwedharake / diuraikan oleh Paku Buwono IX dalam tembang Kinanthi. Bahwasanya aksara Jawa yang berjumlah 20 itu memiliki makna filosofis
bagi insan yang hidup di dunia ini. Adapun ajaran / filsafat yang termuat
berdasarkan aksara Jawa adalah sebagai berikut.
Ha – na – ca – ra – ka , berarti ada
utusan. Manusia hidup itu diutus minangka
titah Allah. Da – ta – sa – wa – la
, berarti manusia setelah cinipta, sampai
tiba saatnya tinimbalan ( da – ta )
tidak bisa sawala / menolak, kudu ndherek dhawuhing Gusti. Pa – dha –
ja – ya – nya, berarti manunggale kawula
Gusti , pa – dha, jumbuh / cocog,
manusia diciptakan Tuhan berdasarkan citra – Nya. Ja – ya – nya itu unggul. Manusia adalah makhluk ciptaan Tuhan yang
tertinggi derajadnya. Ma- ga – ba – tha – nga, berarti
menerima semua kehendak Allah. Pasrah
sumarah marang garising pepesthen/ kodrat,
meskipun manusia diberi wewenang untuk
berupaya. Dengan tegas dan canthas kurasuki jiwa anak didikku. Mereka seolah
terbius dengan uraianku. Aku merasa di atas angin.
Tidak
hanya itu, aku mulai membeli kaset – kaset VCD murahan di emperan pecinan.
Kucari cerita – cerita berbahasa Jawa, lagu – lagu dolanan dan campursari,
kethoprak humor yang pernah eksis ditayangkan di televisi. Kuajak mereka masuk
laboratorium bahasa setiap kali ada pelajaran bahasa Jawa. Kuputarkan lagu –
lagu campursari, cerita berbahasa Jawa seperti Dumadining Rawa Pening, kethoprak humor Kirun CS. Dari model pembelajaran ini ternyata siswa bisa
menikmatinya, terbukti setelah selesai menonton mereka bisa menceritakan
kembali meskipun mula – mula dengan bahasa Indonesia. Sabar ! Itu ternyata
kuncinya.
Untuk
memperkaya kosa kata siswa, aku rajin menggunting artikel berbahasa Jawa baik
ngoko maupun krama dari Mekar Sari
yang terdapat di harian Kedaulatan Rakyat,
setiap hari Minggu, ( dulu setiap Kamis ) terima kasih KR ! Kutempelkan di
kertas HVS , kuperbanyak dengan mengopinya. Siswa kuminta menerjemahkannya ke
dalam bahasa Indonesia.
Sebaliknya juga artikel berbahasa Indonesia diterjemahkan ke dalam
bahasa Jawa, baik ngoko maupun krama. Dari kegiatan ini siswa terlibat aktif.
Mereka disibukkan dengan pekerjaanya. Waktu 45 menit dirasa cepat dan tidak
membosankan. Namun, jangan tanya dulu hasilnya.
Materi
parikan dan wangsalan kuajarkan dengan permainan. Siswa kubagi menjadi beberapa
kelompok kecil. Mereka berkompetisi, saling berbalas parikan. Salah satu kelompok
membuat sampirannya dan kelompok lain melanjutkannya. Atau membuat parikan utuh. Kegiatan ini cukup membuat gaduh suasana salah satu
kelas, yakni kelas XI IPA karena mereka saling ejek dengan menggunakan parikan. Seperti contoh berikut Biyen suweng saiki anting –anting, Vincent
ireng kakean pertingsing. (
Dahulu subang sekarang anting, Vincent hitam banyak tingkah). Mendengar itu
Vincent menjawab, “ Tuku areng
dikrenengi, sanadyan ireng rak ngangeni”. ( Beli arang di dalam kranjang,
meski hitam, toh dirindukan). Nah, aku tinggal menonton dan memberi nilai. Mereka
berpikir keras menemukan kosa kata Jawa yang cocok. Dengan sendirinya kegiatan
ini justru menambah perbendaharaan mereka.
Tahun
– tahun pertama sebagai guru bahasa Jawa kujalani dengan penuh dinamika, suka –
duka memberikan warna tersendiri. Bahkan, kalimat buatan siswa ada yang lucu.
Suatu kali ketika aku memberikan materi panyandra,
si Samodra Rico Tarigan kusuruh membuat kalimat dengan panyandra sikile mukang gangsir. Dengan cukup PD
dan suara keras dia membuat kalimat ,”Joni
sikile mukang gangsir amarga hobine bal – balan” . Hampir seluruh siswa
satu kelas tertawa kecuali beberap siswa yang tidak tahu artinya. Yah begitulah
pengalaman pertama menjadi guru bahasa Jawa, santai dan penuh guyonan.
Baru
tahun kedua, aku mulai berpikir . Anak – anak harus bisa berbahasa Jawa, syukur
bisa nembang macapat, nulis aksara Jawa, dan berbahasa krama. Ketiga materi di
atas tidak mudah untuk dipelajari. Sangat berbeda saat mereka ada di kelas X.
Seorang
teman berbaik hati memberiku pinjaman satu set kaset VCD original wayang orang dengan bahasa yang baku. Kelompok wayang
orang itu adalah Sekar Budaya Nusantara. Beberapa judul kuputarkan di
laboratorium bahasa, antara lain Wahyu
Cakraningrat, Semar Mantu, Wisanggeni Lahir, dan Gatotkaca Lahir. Meskipun
mula mula mereka tidak paham bahasanya, paling tidak mereka bisa membaca teks
terjemahan dalam bahasa Indonesia.
Melalui pemutaran cerita wayang itu ada banyak hal yang dapat dipetik siswa,
selain belajar memahami dialog berbahasa krama alus dan belajar memahami budi pekerti luhur dari tokoh
kesatria Pandawa, mereka juga mulai mengenali budaya Jawa yang kini mulai
ditinggalkan kaum muda.
Akasara
Jawa yang memiliki nilai filosofi itu pun dengan telaten kuajarkan. setahap
demi setahap. Siswa yang sudah mulai senang dengan pelajaran ini ternyata mau
nurut ketika satu per satu mereka harus maju dan hafal kedua puluh huruf dasar
tersebut.
Usaha
yang banyak didukung oleh berbagai pihak ini ternyata membuahkan hasil.
Pertanyaan salah satu siswa di awal tulisan ini ternyata sudah terjawab dengan
sendirinya. Aku tidak perlu dengan muka bengis memaksa anak didikku untuk
mencintai budayanya. Meskipun belum
semua siswa , cukuplah rasanya. Karena dari sedikit siswa yang mau mencintai
budaya Jawa itu mampu menunjukkan prestasinya.
Agustus
2005 dinas Pariwisata Kota Magelang mengadakan lomba bahasa Jawa. Materi yang
dilombakan meliputi nembang macapat putra – putri, membaca geguritan putra –
putri, dan membaca cerpen berbahasa Jawa. Adalah kesempatan emas untuk menguji
anak didikku. Kulatih enam anak untuk mengikuti lomba tersebut. Masing – masing
dua. Hasilnya sungguh menggembirakan .
Keenam anak tersebut semuanya mendapatkan juara. Nembang macapat putra juara I,
putri juara III, geguritan putra juara II dan harapan I, membaca cerpen
berbahasa Jawa Putri juara II , putra juara harapan 1. Prestasi yang menurutku
membanggakan.
30 Agustus 2006 siswa SMA Tarakanita juga meraih prestasi
dalam lomba nembang macapat. Jonathan seorang siswa tionghwa mampu nembang
macapat dengan bagus dan dia mendapat juara II putra. Juara II putri juga
diraih oleh siswa SMA Tarakanita.
Tidak
hanya itu, ketika pelajaran bahasa Jawa dirasa banyak kendala, kuajak tiga
siswa kelas X untuk mengadakan penelitian sederhana. Objek penelitian adalah
seluruh siswa kelas X tahun ajaran 2006 / 2007. Judul penelitianmya adalah
Multikultural Siswa sebagai Faktor Penghambat Pembelajaran Bahasa Jawa di SMA
Tarakanita Magelang. Hasil penelitian tersebut kami lombakan di Dinas Kota
Magelang pada tanggal 9 Januari 2007. Setelah dipresentasikan dan diuji oleh
para dewan juri, anak – anak kami merebut juara II.
Lomba
LCC bahasa Jawa pun tidak kami lewatkan.
21 September 2007, ketiga anak
didikku ikut bertanding . Berbekal rasa senang dan percaya diri serta dukungan
dari kepala sekolah dan rekan guru,
ketiga siswa kami meraih juara III tingkat Kota Magelang.
Alah
bisa karena biasa itu ternyata benar. Aku yang mula – mula canggung menjadi
guru bahasa Jawa, lama – lama terbiasa. Anak – anak yang dulunya selalu menolak
kini tidak banyak yang protes lagi untuk tidak mau menerima pelajaran bahasa
Jawa. Dan yang sangat menyenangkanku jika ada beberapa siswa mulai menyapaku, “ Bu, sugeng enjing….” Wah seperti
kembali ke masa lampau , neng sekolah ndesa kang kebak tata krama.
Lereng
Tidar, Juni 2008
F.
Pancawati Puji Rahayu
Unit
Karya SMA Tarakanita Magelang
No comments:
Post a Comment