Monday, January 30, 2012

Sebuah Pengalaman Pribadi seorang Guru


Bu, Pelajaran Bahasa Jawa itu untuk Apa ,  to….



Skak ! Mati aku. Jawaban apa yang akan kuberikan ?  Dua puluh tahun aku menjadi guru di Tarakanita Magelang tak pernah ada seorang siswa yang bertanya seperti itu.
Kerongkonganku tercekat.
Amarah yang akan  berwujud cacian kutelan pelan – pelan. Bibir yang  tertekuk ke bawah akhirnya kuubah.
Setelah kucerna, pertanyaannya tidak salah. Bahkan, tepat dan kritis. Zaman telah berubah, peradaban telah bergeser. Ya. Untuk apa siswa SMA mendapat pelajaran Bahasa Jawa setelah sekian lama memang tiada.





Pengalaman baru ini bermula ketika Gubernur Jawa Tengah mengeluarkan SK No.895.5/01/2005 tentang Kurikulum Mata Pelajaran Bahasa Jawa Tahun 2004 untuk Jenjang Pendidikan SMA/SMK.MA Negeri dan Swasta Provinsi Jawa Tengah
Akulah yang ketiban sampur untuk mengampu mata pelajaran ini karena berbagai pertimbangan dari Kepala Sekolah dan beberapa  rekan guru. Salah satunya aku bisa nembang.
Kukatakan sebagai pengalaman baru karena selama dua puluh tahun ini aku mengampu mata pelajaran Bahasa Indonesia. Meskipun serumpun, aku tetap merasa terbebani. Alasannya sangat klise, yakni aku tentu disepelekan siswa,  siapa yang akan menghormati guru Bahasa Jawa ?Ini bukan berarti aku gila hormat, lho ! Beda dengan guru Kimia atau Matematika yang memiki ribuan senjata untuk menggertak siswa. Alasan lain dari segi struktur bahasa Jawa itu sendiri, Bahasa Jawa  memiliki karakteristik yang tidak sederhana. Ada unda usuk atau gradasi.
Hal yang makin membebaniku adalah  latar belakang budaya siswa yang kudidik berbeda - beda. Dari 156 siswa  yang beretnis Jawa ada 50, Tionghoa ada 97,Sunda ada 7, dan Batak ada 2. Tambahan pula, setelah saya menanyai kelima puluh anak Jawa tersebut yang berkomunikasi sehari – hari menggunakan bahasa Jawa hanya 26 siswa. Jajak pendapat sekilas kulakukan. Hasilnya 78,9 % siswa merasa kesulitan jika harus belajar bahasa Jawa. Wah, kalau boleh kusebut usaha ini sama artinya dengan upaya membumikan bahasa Jawa di tengah multikultural siswa.
 Aku harus berbuat sesuatu. Aku yakin  kesulitan  ini justru memberi semangat untuk berani beda dan aku percaya bahwa alah bisa karena biasa. Kusiasati kurikulum yang ada.  Kusesuaikan dengan  kondisi dan kebutuhan siswa. Oleh karena itu ,aku  berani mengajar  dengan berbagai cara.
 Adol crita. Cara klasik  ini  yang akhirnya kulakukan. Kuceritakan falsafah Jawa yang tertuang dalam aksara Jawa yang berjumlah 20 seperti yang diwedharake  / diuraikan oleh Paku Buwono IX dalam  tembang Kinanthi. Bahwasanya aksara Jawa  yang berjumlah 20 itu memiliki makna filosofis bagi insan yang hidup di dunia ini. Adapun ajaran / filsafat yang termuat berdasarkan aksara Jawa adalah sebagai berikut.
Ha – na – ca – ra – ka , berarti ada utusan. Manusia hidup itu diutus minangka titah Allah. Da – ta – sa – wa – la , berarti manusia setelah cinipta, sampai tiba saatnya tinimbalan ( da – ta ) tidak bisa sawala / menolak, kudu ndherek dhawuhing Gusti. Pa – dha – ja – ya – nya, berarti manunggale kawula Gusti , pa – dha, jumbuh / cocog, manusia diciptakan Tuhan berdasarkan citra – Nya. Ja – ya – nya itu unggul. Manusia adalah makhluk ciptaan Tuhan yang tertinggi derajadnya.  Ma- ga – ba – tha – nga, berarti menerima semua kehendak Allah. Pasrah sumarah marang garising pepesthen/ kodrat, meskipun  manusia diberi wewenang untuk berupaya. Dengan tegas dan canthas  kurasuki jiwa anak didikku. Mereka seolah terbius dengan uraianku. Aku merasa di atas angin.
Tidak hanya itu, aku mulai membeli kaset – kaset VCD murahan di emperan pecinan. Kucari cerita – cerita berbahasa Jawa, lagu – lagu dolanan dan campursari, kethoprak humor yang pernah eksis ditayangkan di televisi. Kuajak mereka masuk laboratorium bahasa setiap kali ada pelajaran bahasa Jawa. Kuputarkan lagu – lagu campursari, cerita berbahasa Jawa seperti Dumadining Rawa Pening, kethoprak humor Kirun CS. Dari model pembelajaran ini ternyata siswa bisa menikmatinya, terbukti setelah selesai menonton mereka bisa menceritakan kembali meskipun mula – mula dengan bahasa Indonesia. Sabar ! Itu ternyata kuncinya.
Untuk memperkaya kosa kata siswa, aku rajin menggunting artikel berbahasa Jawa baik ngoko maupun krama dari Mekar Sari yang terdapat di harian Kedaulatan Rakyat, setiap hari Minggu, ( dulu setiap Kamis ) terima kasih KR ! Kutempelkan di kertas HVS , kuperbanyak dengan mengopinya. Siswa kuminta menerjemahkannya ke dalam bahasa Indonesia. Sebaliknya juga artikel berbahasa Indonesia diterjemahkan ke dalam bahasa Jawa, baik ngoko maupun krama. Dari kegiatan ini siswa terlibat aktif. Mereka disibukkan dengan pekerjaanya. Waktu 45 menit dirasa cepat dan tidak membosankan. Namun, jangan tanya dulu hasilnya.
Materi parikan dan wangsalan kuajarkan dengan permainan. Siswa kubagi menjadi beberapa kelompok kecil. Mereka berkompetisi, saling berbalas parikan. Salah satu kelompok  membuat sampirannya dan kelompok lain melanjutkannya.  Atau membuat parikan utuh. Kegiatan ini cukup membuat gaduh suasana salah satu kelas, yakni kelas XI IPA karena mereka saling ejek dengan menggunakan parikan. Seperti contoh berikut Biyen suweng saiki anting –anting, Vincent ireng kakean pertingsing.        ( Dahulu subang sekarang anting, Vincent hitam banyak tingkah). Mendengar itu Vincent menjawab, “ Tuku areng dikrenengi, sanadyan ireng rak ngangeni”. ( Beli arang di dalam kranjang, meski hitam, toh dirindukan). Nah, aku tinggal menonton dan memberi nilai. Mereka berpikir keras menemukan kosa kata Jawa yang cocok. Dengan sendirinya kegiatan ini justru menambah perbendaharaan mereka.
Tahun – tahun pertama sebagai guru bahasa Jawa kujalani dengan penuh dinamika, suka – duka memberikan warna tersendiri. Bahkan, kalimat buatan siswa ada yang lucu. Suatu kali ketika aku memberikan materi panyandra, si Samodra Rico Tarigan kusuruh membuat kalimat dengan panyandra sikile mukang gangsir. Dengan cukup PD dan suara keras dia membuat kalimat ,”Joni sikile mukang gangsir amarga hobine bal – balan” . Hampir seluruh siswa satu kelas tertawa kecuali beberap siswa yang tidak tahu artinya. Yah begitulah pengalaman pertama menjadi guru bahasa Jawa, santai dan penuh guyonan.
Baru tahun kedua, aku mulai berpikir . Anak – anak harus bisa berbahasa Jawa, syukur bisa nembang macapat, nulis aksara Jawa, dan berbahasa krama. Ketiga materi di atas tidak mudah untuk dipelajari. Sangat berbeda saat mereka ada di kelas X. 
Seorang teman berbaik hati memberiku pinjaman satu set kaset VCD original  wayang orang dengan bahasa yang baku. Kelompok wayang orang itu adalah Sekar Budaya Nusantara. Beberapa judul kuputarkan di laboratorium bahasa, antara lain Wahyu Cakraningrat, Semar Mantu, Wisanggeni Lahir, dan Gatotkaca Lahir. Meskipun mula mula mereka tidak paham bahasanya, paling tidak mereka bisa membaca teks terjemahan dalam bahasa Indonesia. Melalui pemutaran cerita wayang itu ada banyak hal yang dapat dipetik siswa, selain belajar memahami dialog berbahasa krama alus dan  belajar memahami budi pekerti luhur dari tokoh kesatria Pandawa, mereka juga mulai mengenali budaya Jawa yang kini mulai ditinggalkan kaum muda.
Akasara Jawa yang memiliki nilai filosofi itu pun dengan telaten kuajarkan. setahap demi setahap. Siswa yang sudah mulai senang dengan pelajaran ini ternyata mau nurut ketika satu per satu mereka harus maju dan hafal kedua puluh huruf dasar tersebut.
Usaha yang banyak didukung oleh berbagai pihak ini ternyata membuahkan hasil. Pertanyaan salah satu siswa di awal tulisan ini ternyata sudah terjawab dengan sendirinya. Aku tidak perlu dengan muka bengis memaksa anak didikku untuk mencintai budayanya.  Meskipun belum semua siswa , cukuplah rasanya. Karena dari sedikit siswa yang mau mencintai budaya Jawa itu mampu menunjukkan prestasinya.
Agustus 2005 dinas Pariwisata Kota Magelang mengadakan lomba bahasa Jawa. Materi yang dilombakan meliputi nembang macapat putra – putri, membaca geguritan putra – putri, dan membaca cerpen berbahasa Jawa. Adalah kesempatan emas untuk menguji anak didikku. Kulatih enam anak untuk mengikuti lomba tersebut. Masing – masing dua.  Hasilnya sungguh menggembirakan . Keenam anak tersebut semuanya mendapatkan juara. Nembang macapat putra juara I, putri juara III, geguritan putra juara II dan harapan I, membaca cerpen berbahasa Jawa Putri juara II , putra juara harapan 1. Prestasi yang menurutku membanggakan.
            30 Agustus 2006  siswa SMA Tarakanita juga meraih prestasi dalam lomba nembang macapat. Jonathan seorang siswa tionghwa mampu nembang macapat dengan bagus dan dia mendapat juara II putra. Juara II putri juga diraih oleh siswa SMA Tarakanita.
Tidak hanya itu, ketika pelajaran bahasa Jawa dirasa banyak kendala, kuajak tiga siswa kelas X untuk mengadakan penelitian sederhana. Objek penelitian adalah seluruh siswa kelas X tahun ajaran 2006 / 2007. Judul penelitianmya adalah Multikultural Siswa sebagai Faktor Penghambat Pembelajaran Bahasa Jawa di SMA Tarakanita Magelang. Hasil penelitian tersebut kami lombakan di Dinas Kota Magelang pada tanggal 9 Januari 2007. Setelah dipresentasikan dan diuji oleh para dewan juri, anak – anak kami merebut juara II.
Lomba LCC bahasa Jawa pun tidak kami lewatkan.  21 September  2007, ketiga anak didikku ikut bertanding . Berbekal rasa senang dan percaya diri serta dukungan dari kepala sekolah dan  rekan guru, ketiga siswa kami meraih juara III tingkat Kota Magelang.
Alah bisa karena biasa itu ternyata benar. Aku yang mula – mula canggung menjadi guru bahasa Jawa, lama – lama terbiasa. Anak – anak yang dulunya selalu menolak kini tidak banyak yang protes lagi untuk tidak mau menerima pelajaran bahasa Jawa. Dan yang sangat menyenangkanku jika ada beberapa siswa mulai menyapaku,       “ Bu, sugeng enjing….” Wah seperti kembali ke masa lampau ,  neng  sekolah ndesa kang kebak tata krama.



                                                                        Lereng Tidar, Juni 2008
                                                                        F. Pancawati Puji Rahayu
                                                                        Unit Karya SMA Tarakanita Magelang

No comments:

Post a Comment

Pages

Labels