Monday, January 30, 2012

Mentari Dimangsa Kabut

Cerpen karya ibunda tercinta,
Fransiska Pancawati P

 “ Iswari… mau ke mana?  Latihan Ketoprak lagi? “ tanya Ibu dengan nada tinggi.
Inggih ..Ibu..”  jawabku lirih sambil menunduk, tidak berani menatap ibu.
“Hmh…”  helaan napas ibu terasa berat . Seperti  biasa. Satu helaan napas berarti satu larangan. Sorotan matanya yang  teduh bak telaga dalam, menyimpan satu keinginan.  Aku tidak boleh pergi . Helaan napasnya tidak  hanya sekali ini kudengar,tetapi selalu kudengar  setiap kali aku akan melangkahkan kaki mengikuti  kata hati untuk memenuhi  hasrat  seniku.  Langkahku surut.  Kuurungkan niatku untuk berlatih malam ini.  Dulu ketika  Romo masih ada, ibu tidak pernah melarangku untuk bergabung dengan kelompok seni ketoprak Muda Wiraga  ini.
Suatu malam pernah kucuri dengar Ibu dan Romo sedang berdiskusi.
“ Jeng, biarlah Iswari  mengembangkan bakat seni yang mengalir  dalam darahnya. Bakat itu  warisan kakeknya. Dia  itu masih kecil. Biar sajalah dia belajar hidup dengan  bermain Ketoprak itu”
“ Tapi … Kangmas.. kita kan bukan  wong cilik ?  Kita masih kerabat keraton!”
“ Ah,.. Jeng.. apa hubungannya dengan itu semua? Zaman telah berubah. Tak ada lagi orang yang silau dengan gelar keningratan seseorang. Semua orang memiliki derajat yang sama.”
“ Kangmas…, kalau Iswari telanjur  bergaul ajur ajer  dalam kelompok seni ketoprak di kampung ini,  orang – orang di kampung ini akan melecehkan  kita. Terutama nanti kalau Iswari sudah remaja.  Pemuda kampung  akan  mempermainkan dan  akan memandang rendah  anak kita”.
“ Aduh, Jeng.. orang akan meremehkan atau menghormati orang lain itu bergantung pada  perilaku atau pribadi kita. Pandangan orang kampung akan berbeda jika kita yang nota bene keluarga ningrat mau ajur ajer dengan siapa pun. Dan ingat , ya Jeng,  justru  seharusnya  orang seperti  kita yang peduli dengan seni tradisional ketoprak itu. Kalau kita renungkan, lakon – lakon yang dimainkan, semua mengandung nilai yang luhur. Karakter – karakter kuat  yang patut dicontoh ada dalam semua lakon. Dengan bermain ketoprak, unggah – ungguh, tatasusila, sopan – santun akan terlatih secara otomatis. Nah, enakkan ? Kita sebagai orang tua tidak perlu susah – susah menanamkan itu semua kepada  anak kita ”.
“ Ah….Kangmas tidak mengerti  apa yang saya rasakan. Saya tidak rela kalau Iswari menjadi seniwati ketoprak. Aaah… menjadi tontonan banyak orang. Apa yang bisa diharapkan dalam kesenian itu ?”.
 Kalau ibu sudah berkata  begitu,  Romo tidak akan melanjutkan pembicaraan.  Dan tanpa seizin ibu, aku selalu di bawa ke tempat  yang kurindukan. Tempat yang menjadikanku damai. Gendhing – gendhing  Jawa, talu gamelan , gelak tawa para niyaga, bak magnet dan energi yang merasuki  jiwaku.
Kini  aku sudah dewasa.  Romo telah berpulang ke alam baka.  Tidak ada lagi yang menemaniku memerankan Rara Wilis. Tokoh idolaku. Sejak berpulangnya Romo, perangai ibu berubah. Tutur kata yang halus  seakan hilang tak bersisa. Ibu selalu melarangku untuk berlatih ketoprak.  Tidak jarang aku sembunyi – sembunyi  datang ke tempat  Pak Arjo, dengan berbagai risiko dimarahi ibu.  Hingga pada suatu hari…
“ Iswari, duduklah dan dengarkan kata – kata Ibu!” nada suara Ibu tidak terbantahkan.   “ Nduk.. kamu sekarang sudah  dewasa. Kuliahmu tinggal beberapa semester lagi. Bisakah kamu keluar dari kelompok  seni ketoprak itu? Apa yang bisa kamu harapkan ? Tidak sadarkah kamu bahwa seni ketoprak itu rendah?  Kamu akan dilecehkan, diejek, dicibir. Ingat kamu itu gadis. Kamu menjadi  sri panggung yang bisa dengan bebas dinikmati  mata – mata jalang kaum brandalan. Dan .. akh.. kamu akan dianggap murahan ..Ndhuk….”.
“ Tapi, Bu.. . saya bisa menjaga diri ..”
“ Tidak.. dulu ketika kanjeng Romomu masih sugeng, Ibu tidak sekhawatir sekarang. Jadi, nurut kata –kata Ibu, ya, keluar saja kamu sekarang juga.  Ibu ini sekarang janda, pandangan orang – orang itu  pasti meremehkan kita. Apalagi kamu sebagai pemain ketoprak…”
“ Ibu.. , saya bermaksud melestarikan budaya kita yang hampir tak ada penggemarnya ini, Bu.  Apakah saya salah ? Saya bisa mengekspresikan jiwa saya  ke dalam berbagai peran. Menurut saya tidak ada buruknya sebagai seniwati ketoprak itu”
“ Pinter omong ya kamu sekarang. Iswari, ini bukan panggung pertunjukkan. Yang kamu hadapi adalah biyungmu, yang telah melahirkanmu” suara ibu meninggi.  Aku terdiam.
“ Kamu tahu ? Bagaimana nasib para pemain ketoprak tobong ? Mereka pada awalnya juga punya maksud mulia  , nguri – uri kebudayaan Jawa. Tapi bagaimana nasibnya?  Di atas panggung  mereka menjadi raja dan ratu. Namun, dalam kehidupan nyata mereka harus berjuang  mengisi perutnya yang kosong karena upah mereka tidak sebanding dengan kerja kerasnya.  Di siang hari mereka tidur di barak – barak di bawah panggung. Mereka beranak  pinak di situ. Tidur beralaskan tanah yang becek dan lembab . Di malam hari mereka  harus memerankan tokoh yang  memiliki nasib yang jauh berbeda. Huh… sangat ironis.  Inikah yang  akan kamu perjuangkan ,Ndhuk?” Sinis kata – kata ibu menohok ulu hatiku.  Ingin rasanya  aku membantah semua kata – kata ibu. Namun, deretan kalimat sanggahan yang sudah kupersiapkan kutelan pelan – pelan. Sesak rasanya kerongkonganku.  Jiwaku menjadi kosong. Ada roh kekuatan yang seolah pergi meninggalkan ragaku . Lemas dan tak berdaya. Ibu meninggalkan aku sendirian.  Duh Romo tolong anakmu ini. Jerit hatiku dalam dekapan sepinya malam.
                                                            ***
Bulan Agustus.  Kelompok Ketoprak  Muda Wiraga akan pentas  di kampung sebelah. Mendapat  undangan dari Bapak Lurah yang baru dan sekalian untuk memeriahkan HUT  RI yang ke- 64. Semua kampung  sudah bersolek. Berbagai lomba diselenggarakan. Gelak tawa riang anak – anak terdengar di mana – mana. Kelompok seni ketoprak Muda Wiraga juga sibuk mempersiapkan  sebuah pementasan. Pak Arjo sebagai ketua kelompok bersemangat. Wajah tirusnya  tampak serius menggarap lakon yang akan ditampilkan. Ini kesempatan istimewa.
“ Nak, kamu bisa ikut main kan? “
“ Diizinkan oleh ibu ?’
Pertanyaan Pak Arjo mengagetkan lamunanku. Aku tergagap, “ Ya.. Pak?”
“ Ndhuk Iswari ikut main ta?”
Keraguan dalam mataku tertangkap oleh Pak Arjo.
“ Sudah.. diizinkan atau tidak, kamu harus ikut main. Nanti Bapak yang bertanggung jawab”
Seulas senyum tipis menghias bibirku yang kering.  Dengan lunglai kuanggukkan kepalaku.
“ Latihan seminggu dua kali ya, malam Minggu dan malam Rabu. Bisa ?” kata Pak Arjo enteng.
 Malam Minggu.  Seperti   yang sudah dijadwal , Muda Wiraga mulai berlatih. Namun, aku tidak berani meninggalkan rumah karena ibu sedang menyulam di ruang depan. Aku ingin lewat pintu belakang, tetapi  ternyata sudah dikunci. Geram rasa hatiku. Ah, aku ini benar – benar  dikurung seperti zaman Raden Ajeng Kartini saja.  Aku di dalam kamar bersama dengan kegelisahanku. Mengapa Pak Arjo belum nongol  kalau memang akan bertanggung jawab? Jam  Sembilan malam tidak ada tanda – tanda kalau ibu akan tidur. Ah.. mengapa Pak Arjo tidak datang saja kepada ibu ? Malam itu aku kecewa.  Aku tertidur dengan membawa kemasgulanku .
Pagi harinya Pak Arjo kutanya, “ Bapak, kenapa  tidak datang ke rumah? Aku tadi malam menunggu. Tidak berani keluar  karena ibu belu sare”.
“ Oh, tadi malam tidak ada latihan, Ndhuk.  Pak Panji , pengendang kita sedang ada keperluan”.
“ Ow, gitu ya…!  Malam Rabu jangan lupa ya Pak..!”
“Pasti.. Ndhuk, nanti yang memerankan Anjasmara siapa…” ungkap Pak Arjo menyejukkan.
Benar, malam Rabu pukul tujuh Pak Arjo sudah berbincang dengan  ibu di ruang depan. Nada suara ibu  tetap tinggi. Pak Arjo tampaknya merendah. Dia pasti tahu filosofi orang Jawa, wong Jawa iku nek dipangku , mati.  Persis seperti  aksara Jawa. Nah, tampaknya ini yang mencairkan  suasana.
“ Iswari.. kali ini ibu mengizinkan kamu pentas karena diundang Pak Lurah. Tapi hanya kali ini saja.  Lain kali tidak.  Dan karena Pak Arjo akan selalu mengawalmu  setiap kali berlatih.”
“ Terima kasih , Bu…, terima kasih Pak.”  kukerlingkan mata berbinarku pada Pak Arjo
Latihan demi latihan kujalani dengan hati bercampur aduk. Kadang senang, kadang kosong, kadang sedih.  Ibu pasti tidak akan mengizinkan aku  untuk pentas lagi. Ini pentas terakhirku. Meski begitu, aku tetap menghayati peran Anjasmara dalam kisah Damarwulan.  Kebetulan ataukah memang sudah merupakan firasat . Bagiku tokoh Anjasmara  yang kuperankan  memiliki karakter  dan nasib yang jauh berbeda dengan Rara Wilis.
            Pak Arjo, seniman kampung ini memang mumpuni . Dia  sutradara yang baik. Sebelum pementasan  dia akan selalu mengumpulkan kami dan memberi  penjelasan, misalnya mengisahkan ringkasan ceritanya dan  karakter  para tokoh.
“ Ndhuk,  Anjasmara itu bukan Rara Wilis ya.. Dia putri    Patih Loh Gender  di Kerajaan Majapahit.  Kalau Rara Wilis itu pendekar wanita  yang gagah perkasa. Memiliki kebebasan untuk berbuat sesuai panggilan jiwanya. Sebaliknya, Anjasmara  tidak demikian. Tahu yang saya maksudkan ?”
Aku mengangguk.  Ah, cocok dengan yang kini sedang kualami.  Terpasung dan terpenjara oleh kehendak ibu yang tidak bisa kumengerti.
“ Anjasmara itu putri yang tidak bisa berbuat banyak. Bahkan, saat pacangannya, Damarwulan harus menjadi suami Dyah Ayu Kencana Wungu, Sang Ratu Kerajaan Majapahit, Anjasmara harus menurut” begitu kata Pak Arjo.
Lanjutnya, “ Damarwulan itu ngenger di kepatihan.  Patih Loh Gender menerima Damarwulan menjadi  pekathik.  Anjasmara terpikat dengan ketampanan Damarwulan. Gayung bersambut.  Terjalinlah kisah asmara antara Anjasmara dan  Damarwulan.   Damarwulan ternyata seorang pemuda yang cakap.  Ketika Kerajaan Majapahit dirongrong oleh Menak Jinggo, Raja Blambangan dan Majapahit akan keteter, tampilah Damarwulan atas rekomendasi Patih Loh Gender. Nah, saat – saat terakhir di kepatihan inilah terjadi peristiwa mengharukan. antara  Anjasmara dengan Damarwulan. Nah, saat berpamitan ini, Damarwulan nembang  Asmaradana.  Asmarandana berisi kisah cinta sedih antara Anjasmara dengan Damarwulan. Asmara itu berarti cinta, dahana berarti api…” Pak Arjo memberikan penjelasan secara gamblang.


Hari pementasan pun tiba. Aku sangat merasakan perbedaannya. Aura Anjasmara betul – betul kurasakan dalam jiwaku.  Penonton terhanyut. Kulihat sepintas beberapa kaum perempuan terisak saat adegan perpisahanku dengan Damarwulan ketika Damarwulan harus maju perang melawan Menak Jinggo. Kuhayati benar – benar peran itu. Seolah roh Anjasmara  merasuki jiwaku. Ibu yang duduk di deretan depan tampaknya juga terhanyut. Berkali – kali kulihat tangannya sibuk menghapus air matanya.  Aku tidak bisa menebak. Apa yang dirasakan di dalam dadanya.
Ketika semua penonton pulang, Pak Lurah menghampiri aku.
“ Hebat kamu Nak… Iswari namamu? Kamu masih muda, punya masa depan. Saya salut denganmu. Kamu masih mau terlibat dalam upaya pelestarian seni tradisional, ketoprak. Lanjutkan , ya.. !
Gamang aku .  Aku berada di persimpangan. Sebuah fakta memang. Tidak ada yang peduli dengan kelestarian seni ketoprak. Ibarat kabut yang menguasai langit. Buram, gelap, dingin dan beku. Aku hanya berharap semoga  kabut bisa memuntahkan kembali  sang Mentari yang telah dimangsanya…




                                                                                                Lereng Tidar, 19 Juni 2010





  Keterangan  :
Inggih              : iya
Romo              : sebutan untuk ayah/bapak bagi keluarga berdarah biru
Wong cilik       : masyarakat bawah/ rakyat jelata.
ajur ajer           : melebur
niyaga              : penabuh gamelan
sugeng             : hidup
nguri – uri        : melestarikan
wong Jawa nek dipangku mati           : Orang Jawa kalau disanjung akan mengalah
ngenger           : mengabdi / nyantri
pekathik          : pencari rumput
keteter             : hamper kalah

No comments:

Post a Comment

Pages

Labels