Fransiska Pancawati P
“ Iswari… mau ke mana? Latihan Ketoprak lagi? “ tanya Ibu dengan nada
tinggi.
“ Inggih ..Ibu..” jawabku
lirih sambil menunduk, tidak berani menatap ibu.
“Hmh…” helaan napas ibu terasa berat . Seperti biasa. Satu helaan napas berarti satu
larangan. Sorotan matanya yang teduh bak
telaga dalam, menyimpan satu keinginan. Aku
tidak boleh pergi . Helaan napasnya tidak
hanya sekali ini kudengar,tetapi selalu kudengar setiap kali aku akan melangkahkan kaki mengikuti kata hati untuk memenuhi hasrat
seniku. Langkahku surut. Kuurungkan niatku untuk berlatih malam
ini. Dulu ketika Romo
masih ada, ibu tidak pernah melarangku untuk bergabung dengan kelompok seni ketoprak
Muda Wiraga ini.
Suatu
malam pernah kucuri dengar Ibu dan Romo sedang berdiskusi.
“ Jeng, biarlah
Iswari mengembangkan bakat seni yang
mengalir dalam darahnya. Bakat itu warisan kakeknya. Dia itu masih kecil. Biar sajalah dia belajar
hidup dengan bermain Ketoprak itu”
“ Tapi … Kangmas.. kita
kan
bukan wong cilik ? Kita masih
kerabat keraton!”
“ Ah,.. Jeng.. apa
hubungannya dengan itu semua? Zaman telah berubah. Tak ada lagi orang yang
silau dengan gelar keningratan seseorang. Semua orang memiliki derajat yang
sama.”
“ Kangmas…, kalau
Iswari telanjur bergaul ajur ajer dalam kelompok seni ketoprak di kampung
ini, orang – orang di kampung ini akan
melecehkan kita. Terutama nanti kalau
Iswari sudah remaja. Pemuda kampung akan
mempermainkan dan akan memandang
rendah anak kita”.
“ Aduh, Jeng.. orang
akan meremehkan atau menghormati orang lain itu bergantung pada perilaku atau pribadi kita. Pandangan orang
kampung akan berbeda jika kita yang nota bene keluarga ningrat mau ajur ajer
dengan siapa pun. Dan ingat , ya Jeng, justru
seharusnya orang seperti kita yang peduli dengan seni tradisional
ketoprak itu. Kalau kita renungkan, lakon – lakon yang dimainkan, semua
mengandung nilai yang luhur. Karakter – karakter kuat yang patut dicontoh ada dalam semua lakon.
Dengan bermain ketoprak, unggah – ungguh, tatasusila, sopan – santun akan
terlatih secara otomatis. Nah, enakkan ? Kita sebagai orang tua tidak perlu
susah – susah menanamkan itu semua kepada anak kita ”.
“ Ah….Kangmas tidak
mengerti apa yang saya rasakan. Saya
tidak rela kalau Iswari menjadi seniwati ketoprak. Aaah… menjadi tontonan
banyak orang. Apa yang bisa diharapkan dalam kesenian itu ?”.
Kalau ibu sudah berkata begitu, Romo tidak akan melanjutkan pembicaraan. Dan tanpa seizin ibu, aku selalu di bawa ke
tempat yang kurindukan. Tempat yang
menjadikanku damai. Gendhing – gendhing
Jawa, talu gamelan , gelak tawa para niyaga,
bak magnet dan energi yang merasuki
jiwaku.
Kini aku sudah dewasa. Romo telah berpulang ke alam baka. Tidak ada lagi yang menemaniku memerankan
Rara Wilis. Tokoh idolaku. Sejak berpulangnya Romo, perangai ibu berubah. Tutur
kata yang halus seakan hilang tak
bersisa. Ibu selalu melarangku untuk berlatih ketoprak. Tidak jarang aku sembunyi – sembunyi datang ke tempat Pak Arjo, dengan berbagai risiko dimarahi
ibu. Hingga pada suatu hari…
“
Iswari, duduklah dan dengarkan kata – kata Ibu!” nada suara Ibu tidak
terbantahkan. “ Nduk.. kamu sekarang
sudah dewasa. Kuliahmu tinggal beberapa
semester lagi. Bisakah kamu keluar dari kelompok seni ketoprak itu? Apa yang bisa kamu
harapkan ? Tidak sadarkah kamu bahwa seni ketoprak itu rendah? Kamu akan dilecehkan, diejek, dicibir. Ingat
kamu itu gadis. Kamu menjadi sri
panggung yang bisa dengan bebas dinikmati mata – mata jalang kaum brandalan. Dan .. akh..
kamu akan dianggap murahan ..Ndhuk….”.
“ Tapi, Bu.. . saya bisa
menjaga diri ..”
“ Tidak.. dulu ketika
kanjeng Romomu masih sugeng, Ibu
tidak sekhawatir sekarang. Jadi, nurut kata –kata Ibu, ya, keluar saja kamu
sekarang juga. Ibu ini sekarang janda,
pandangan orang – orang itu pasti
meremehkan kita. Apalagi kamu sebagai pemain ketoprak…”
“ Ibu.. , saya
bermaksud melestarikan budaya kita yang hampir tak ada penggemarnya ini,
Bu. Apakah saya salah ? Saya bisa
mengekspresikan jiwa saya ke dalam
berbagai peran. Menurut saya tidak ada buruknya sebagai seniwati ketoprak itu”
“ Pinter omong ya kamu
sekarang. Iswari, ini bukan panggung pertunjukkan. Yang kamu hadapi adalah
biyungmu, yang telah melahirkanmu” suara ibu meninggi. Aku terdiam.
“ Kamu tahu ? Bagaimana
nasib para pemain ketoprak tobong ? Mereka pada awalnya juga punya maksud
mulia , nguri – uri kebudayaan Jawa. Tapi bagaimana nasibnya? Di atas panggung mereka menjadi raja dan ratu. Namun, dalam
kehidupan nyata mereka harus berjuang
mengisi perutnya yang kosong karena upah mereka tidak sebanding dengan
kerja kerasnya. Di siang hari mereka
tidur di barak – barak di bawah panggung. Mereka beranak pinak di situ. Tidur beralaskan tanah yang
becek dan lembab . Di malam hari mereka
harus memerankan tokoh yang
memiliki nasib yang jauh berbeda. Huh… sangat ironis. Inikah yang
akan kamu perjuangkan ,Ndhuk?” Sinis kata – kata ibu menohok ulu
hatiku. Ingin rasanya aku membantah semua kata – kata ibu. Namun,
deretan kalimat sanggahan yang sudah kupersiapkan kutelan pelan – pelan. Sesak
rasanya kerongkonganku. Jiwaku menjadi
kosong. Ada roh
kekuatan yang seolah pergi meninggalkan ragaku . Lemas dan tak berdaya. Ibu
meninggalkan aku sendirian. Duh Romo
tolong anakmu ini. Jerit hatiku dalam dekapan sepinya malam.
***
Bulan Agustus. Kelompok Ketoprak Muda Wiraga akan pentas di kampung sebelah. Mendapat undangan dari Bapak Lurah yang baru dan
sekalian untuk memeriahkan HUT RI
yang ke- 64. Semua kampung sudah
bersolek. Berbagai lomba diselenggarakan. Gelak tawa riang anak – anak
terdengar di mana – mana. Kelompok seni ketoprak Muda Wiraga juga sibuk
mempersiapkan sebuah pementasan. Pak
Arjo sebagai ketua kelompok bersemangat. Wajah tirusnya tampak serius menggarap lakon yang akan
ditampilkan. Ini kesempatan istimewa.
“ Nak, kamu bisa ikut main kan? “
“ Diizinkan oleh ibu ?’
Pertanyaan Pak Arjo mengagetkan
lamunanku. Aku tergagap, “ Ya.. Pak?”
“ Ndhuk Iswari ikut main ta?”
Keraguan dalam mataku tertangkap oleh
Pak Arjo.
“ Sudah.. diizinkan atau tidak, kamu
harus ikut main. Nanti Bapak yang bertanggung jawab”
Seulas senyum tipis menghias bibirku
yang kering. Dengan lunglai kuanggukkan
kepalaku.
“ Latihan seminggu dua kali ya, malam
Minggu dan malam Rabu. Bisa ?” kata Pak Arjo enteng.
Malam Minggu.
Seperti yang sudah dijadwal ,
Muda Wiraga mulai berlatih. Namun, aku tidak berani meninggalkan rumah karena
ibu sedang menyulam di ruang depan. Aku ingin lewat pintu belakang, tetapi ternyata sudah dikunci. Geram rasa hatiku.
Ah, aku ini benar – benar dikurung
seperti zaman Raden Ajeng Kartini saja.
Aku di dalam kamar bersama dengan kegelisahanku. Mengapa Pak Arjo belum
nongol kalau memang akan bertanggung
jawab? Jam Sembilan malam tidak ada
tanda – tanda kalau ibu akan tidur. Ah.. mengapa Pak Arjo tidak datang saja
kepada ibu ? Malam itu aku kecewa. Aku
tertidur dengan membawa kemasgulanku .
Pagi
harinya Pak Arjo kutanya, “ Bapak, kenapa
tidak datang ke rumah? Aku tadi malam menunggu. Tidak berani keluar karena ibu belu sare”.
“ Oh, tadi malam tidak
ada latihan, Ndhuk. Pak Panji ,
pengendang kita sedang ada keperluan”.
“ Ow, gitu ya…! Malam Rabu jangan lupa ya Pak..!”
“Pasti.. Ndhuk, nanti
yang memerankan Anjasmara siapa…” ungkap Pak Arjo menyejukkan.
Benar, malam Rabu pukul
tujuh Pak Arjo sudah berbincang dengan
ibu di ruang depan. Nada suara ibu
tetap tinggi. Pak Arjo tampaknya merendah. Dia pasti tahu filosofi orang
Jawa, wong Jawa iku nek dipangku , mati. Persis seperti
aksara Jawa. Nah, tampaknya ini yang mencairkan suasana.
“ Iswari.. kali ini ibu
mengizinkan kamu pentas karena diundang Pak Lurah. Tapi hanya kali ini
saja. Lain kali tidak. Dan karena Pak Arjo akan selalu
mengawalmu setiap kali berlatih.”
“ Terima kasih , Bu…,
terima kasih Pak.” kukerlingkan mata
berbinarku pada Pak Arjo
Latihan demi latihan kujalani
dengan hati bercampur aduk. Kadang senang, kadang kosong, kadang sedih. Ibu pasti tidak akan mengizinkan aku untuk pentas lagi. Ini pentas terakhirku.
Meski begitu, aku tetap menghayati peran Anjasmara dalam kisah Damarwulan. Kebetulan ataukah memang sudah merupakan
firasat . Bagiku tokoh Anjasmara yang
kuperankan memiliki karakter dan nasib yang jauh berbeda dengan Rara
Wilis.
Pak Arjo, seniman kampung ini memang mumpuni . Dia sutradara yang baik. Sebelum pementasan dia akan selalu mengumpulkan kami dan
memberi penjelasan, misalnya mengisahkan
ringkasan ceritanya dan karakter para tokoh.
“ Ndhuk, Anjasmara itu bukan Rara Wilis ya.. Dia
putri Patih Loh Gender di Kerajaan Majapahit. Kalau Rara Wilis itu pendekar wanita yang gagah perkasa. Memiliki kebebasan untuk
berbuat sesuai panggilan jiwanya. Sebaliknya, Anjasmara tidak demikian. Tahu yang saya maksudkan ?”
Aku mengangguk. Ah, cocok dengan yang kini sedang
kualami. Terpasung dan terpenjara oleh
kehendak ibu yang tidak bisa kumengerti.
“ Anjasmara itu putri
yang tidak bisa berbuat banyak. Bahkan, saat pacangannya, Damarwulan harus menjadi suami Dyah Ayu Kencana Wungu,
Sang Ratu Kerajaan Majapahit, Anjasmara harus menurut” begitu kata Pak Arjo.
Lanjutnya, “ Damarwulan
itu ngenger di kepatihan. Patih Loh Gender menerima Damarwulan
menjadi pekathik. Anjasmara terpikat
dengan ketampanan Damarwulan. Gayung bersambut.
Terjalinlah kisah asmara
antara Anjasmara dan Damarwulan. Damarwulan ternyata seorang pemuda yang
cakap. Ketika Kerajaan Majapahit
dirongrong oleh Menak Jinggo, Raja Blambangan dan Majapahit akan keteter, tampilah Damarwulan atas
rekomendasi Patih Loh Gender. Nah, saat – saat terakhir di kepatihan inilah terjadi
peristiwa mengharukan. antara Anjasmara
dengan Damarwulan. Nah, saat berpamitan ini, Damarwulan nembang Asmaradana. Asmarandana berisi kisah cinta sedih antara
Anjasmara dengan Damarwulan. Asmara
itu berarti cinta, dahana berarti api…” Pak Arjo memberikan penjelasan secara
gamblang.
Hari pementasan pun
tiba. Aku sangat merasakan perbedaannya. Aura Anjasmara betul – betul kurasakan
dalam jiwaku. Penonton terhanyut.
Kulihat sepintas beberapa kaum perempuan terisak saat adegan perpisahanku
dengan Damarwulan ketika Damarwulan harus maju perang melawan Menak Jinggo.
Kuhayati benar – benar peran itu. Seolah roh Anjasmara merasuki jiwaku. Ibu yang duduk di deretan
depan tampaknya juga terhanyut. Berkali – kali kulihat tangannya sibuk
menghapus air matanya. Aku tidak bisa
menebak. Apa yang dirasakan di dalam dadanya.
Ketika semua penonton
pulang, Pak Lurah menghampiri aku.
“ Hebat kamu Nak…
Iswari namamu? Kamu masih muda, punya masa depan. Saya salut denganmu. Kamu
masih mau terlibat dalam upaya pelestarian seni tradisional, ketoprak.
Lanjutkan , ya.. !
Gamang aku . Aku berada di persimpangan. Sebuah fakta
memang. Tidak ada yang peduli dengan kelestarian seni ketoprak. Ibarat kabut
yang menguasai langit. Buram, gelap, dingin dan beku. Aku hanya berharap semoga
kabut bisa memuntahkan kembali sang Mentari yang telah dimangsanya…
Lereng
Tidar, 19 Juni 2010
Keterangan
:
Inggih : iya
Romo : sebutan untuk ayah/bapak bagi
keluarga berdarah biru
Wong cilik : masyarakat bawah/ rakyat jelata.
ajur ajer : melebur
niyaga : penabuh gamelan
sugeng : hidup
nguri – uri : melestarikan
wong Jawa nek dipangku
mati : Orang Jawa kalau
disanjung akan mengalah
ngenger : mengabdi / nyantri
pekathik : pencari rumput
keteter :
hamper kalah
No comments:
Post a Comment