Malu Aku Jadi
Guru
Sementara kita berusaha
mengajari anak didik kita pelajaran tentang hidup, anak didik kita mengajari
kita apa kehidupan itu….
Itulah
fakta yang terjadi. Tidak bisa dipungkiri. Kini hanya keberanian kita (baca:guru)
saja mau mengakui atau tidak. Kenyataan ini penulis sadari ketika terjadi
peristiwa yang (seharusnya) memalukan. Peristiwa ini terjadi di tahun ajaran
2003/2004. Siang itu setelah bel pelajaran jam kedelapan berbunyi, dua polisi
datang ke sekolah. Satpam menyampaikan kabar bahwa polisi itu akan bertemu
dengan Robert, siswa kelas X1. Selaku wali kelas, dengan dada bergetar aku
temui kedua polisi itu.
“
Robert salah apa,Pak? Mengapa akan dibawa ke Polsek? Ada apa dengan Robert?”
Salah satu dari polisi
itu mengeluarkan surat pengaduan dari muridku juga, Davy. Ah.. Davy lapor polisi? Disertai dengan visum dokter, Davy melaporkan
bahwa tulang pipinya retak karena telah
dipukul oleh Robert. Apa yang kaulakukan Davy? Tega-teganya engkau membawa
perkara ini ke tangan polisi. Aku tidak habis pikir. Mengapa tidak
dimusyawarahkan terlebih dulu? Aku menyesalkan sikap grusa-grusu Davy.
Seketika
itu emosiku memuncak. Kemarahan menutup hatiku. Aku membenci Davy. Aku tahu siapa Robert. Anak Temanggung ini
dari keluarga yang pas-pasan. Mengapa terlibat dengan polisi gara-gara
berkelahi dengan Davy? Karena saat itu Kepala Sekolah dan waka sedang rapat di
Jakarta, dengan ditemani seorang teman guru aku pergi menemani Robert ke
Polsek.
Davy
tertunduk ketika bertatap mata denganku. Dia sudah ada dulu di Polsek. Dia
ditemani dengan paman dan guru BK sekolah kami. Aku heran, kenapa persoalan ini
tidak diselesaikan dulu sesuai tata tertib sekolah? Kulihat pipinya baik-baik
saja. Sedikit memar memang. Ribuan kalimat tanya hampir saja keluar dari mulutku.
Namun, kutelan kembali secara perlahan. Proses pemeriksaan pun dimulai. Aku
buta cara pengadilan ala polisi. Yang pasti Robert tanpa ada orang yang
mendampingi dibawa masuk ke sebuah ruangan untuk diinterogasi. Baru sejam
kemudian rombongan keluarga Robert datang dari Temanggung. Ibunya hanya bisa
menangis. Aku mencoba menghiburnya. Dengan harapan Robert tidak masuk penjara.
Hari
pertama yang melelahkan. Kami semua pulang dengan lesu. Polsek kami tinggalkan.
Robert bersama keluarganya pulang Temanggung. Davy dan pamannya pulang ke
Muntilan. Aku pulang dengan membawa pertanyaan tanpa jawaban. Esok hari kami
harus datang lagi untuk melanjutkan pemeriksaan.
Pagi
harinya kuceritakan kasus Robert dan Davy kepada teman-teman. Karena persoalan
sudah dibawa ke polisi, pihak sekolah tidak mampu berbuat apa-apa. Kepala
sekolah dan waka kesiswaan yang sedang rapat di Jakarta mendelegasikan
pendampingan masalah siswa kelas X1 ini kepadaku. Dengan ditemani teman dari
kantor TU, kami melanjutkan pemeriksaan di polsek. Davy dan Robert sudah ada di
sana. Robert belum ada keluarganya. Sedangkan Davy sudah ditemani pamannya.
Ketika kami datang, proses pemeriksaan belum dimulai. Entah karena apa. Davy
dan Robert duduk agak jauh. Aku langsung duduk mendampingi Robert. Kuelus
rambut kumalnya. Rasa iba memenuhi rongga dadaku. Tak ada sinar harapan dari
matanya.
“
Bu.., saya menyesal” hanya kalimat itu yang mampu keluar dari mulutnya. Namun,
cukuplah bagiku. Robert memang bersalah telah memukul Davy . Menurut guru BK
kami hanya persoalan sepele. Sungguh peristiwa yang lepas dari pengawasan kami.
Kami teledor. Robert anak yang temperamental ini memang salah, tetapi tidak
harus berurusan dengan polisi. Kesalahannya tidak sebanding jika harus ditebus
dengan hukuman penjara. Davy memang keterlaluan.
“
Ayo kita makan soto dulu,Bert di warung depan itu” ajakku. Robert mengiyakan.
Kami ke warung soto depan Polsek. Davy tidak kuajak, dia kutinggalkan dengan
tanpa ucapan kata sepatah pun dari mulutku.Sengaja volume suaraku kuperkeras.
Ekor mataku sempat menangkap, Davy sekilas memandangku. Aku sudah punya image negatif kepadanya. Dia memang korban, tetapi aku
menjadi tidak simpati dengan tindakannya.
Jam
dua belas siang proses pemeriksaan kedua muridku dimulai. Mula-mula diperiksa seorang
demi seorang, sendirian. Kami hanya boleh berada di luar. Pemeriksaan
dilanjutkan dengan menghadirkan keluarga
masing-masing. Orang tua Robert memohon dengan sangat agar anaknya jangan
dipenjara dan kalau memungkinkan diselesaikan dengan damai saja. Kini tinggal
pihak Davy dan pamannya. Bersediakah menarik perkaranya?
Sidang
hari itu belum selesai. Harus dilanjutkan keesokan harinya karena sudah sore.
Hari kedua di Polsek ini lebih melelahkan. Semoga besok sudah bisa selesai.
Konsentrasi untuk mengajar menjadi terganggu. Beberapa hari anak-anak di
sekolah aku tinggalkan. Semoga ada maksud baik di balik peristiwa ini.
Hari
ketiga aku harus menemani Robert lagi ke Polsek. Sampai di Polsek aku melihat
orang tua Robert sudah berbicara dengan pamannya Davy. Suasana tampak lebih
cair. Wah, moga-moga menemukan kesepakatan yang tidak merugikan salah satu
pihak. Benar, ternyata pihak Paman Davy mau menarik perkaranya. Legalah hatiku.
Meskipun pihak pelapor, yakni pihak Davy harus memberikan kompensasi kepada
pihak kepolisian. Namun, kompensasi itu kemudian ditanggung oleh kedua belah
pihak.
Persoalan
Davy dan Robert sudah selesai. Kedua muridku ini kembali mengikuti KBM. Namun,
tidak bagi siswa yang lain. Inilah kasus baru yang harus dihadapi sekolah. Teman-teman
Robert banyak yang bersimpati dengan kasus ini. Alhasil, Davy di kelas
terkucilkan. Sebagai wali kelas aku berusaha bertindak objektif. Namun, di
sinilah kealpaanku. Davy di mataku sudah memiliki cacat. Aku alpa menyapanya. Dia kuanggap tidak ada di
kelas X1.Kini dia menjadi pendiam dan terisolasi. Hingga pada suatu hari dia
menghadapku.
“
Bu.. bisakah saya menyampaikan sesuatu?” Aku mengangguk. Kuajak dia ke ruang
tamu. Sekolah sudah sepi, hanya beberapa siswa dan teman guru yang belum pulang.
Davy mengeluarkan selembar kertas kumal padaku. Kubaca tulisan pinsil yang agak
kabur itu. Sebuah puisi, Davy memang pintar menulis puisi.
Ketika aku masuk
ke sini, harapanku banyak sekali
Selain teman
sejati, ilmu pengetahuan itu pasti
Kata orang
dengan sekolah aku bisa berubah
Kata orang
dengan sekolah aku bisa berbuah
Namun, kini
baru setengah semester ini
Apa yang
terjadi? Aku terpojok menyendiri
Dengan persoalan
yang abadi menjadi milik pribadi
Tak ada yang
peduli, termasuk guruku yang satu ini
Sakit hati ini..sakit
sekali..
Bu Guruku yang
baik hati kenapa kau tega melukai batin ini?
Merah mataku seketika dan napasku
terengah-engah. Kata-katanya tajam tepat menohok harga diriku. Kutarik napasku
dalam-dalam. Kutelan kemarahanku yang hampir tumpah. Kupejamkan mataku cukup
lama. Darah yang naik ke ubun-ubun
pelan-pelan kuredakan. Saat itu aku tak mampu berkata sepatah kata pun.
Namun, dalam hatiku terjadi perang. Beranikah aku mengakui kebenaran
kata-katanya?
Aku akhirnya mengaku kalah dan salah.Maafkan
aku Davy, kau telah mengingatkanku. Dalam peristiwa ini kau mengajari aku untuk
bisa rendah hati. Rasa maluku semakin menjadi saat teringat cuplikan tulisan
Doni Koesoema A. dalam “Pendidik Karakter di Zaman Keblinger” : guru berperan bukan hanya sebagai pelaku
perubahan yang menggerakkan roda transformasi sosial dan ekonomi dalam
masyarakat. Lebih dari itu, guru bisa memiliki peranan utama sebagai pendidik
karakter. Ia bukan saja mengubah anak didik menjadi pandai, melainkan membekali
mereka dengan keutamaan dan nilai-nilai yang mempersiapkan mereka menjadi insan
yang bertanggung jawab terhadap diri sendiri,orang lain, dan masyarakat.
Duh,
Gusti…malu aku jadi guru yang patut
digugu dan ditiru.. Tuhan telah menegurku melalui puisi Davy. Rasa marah dan
benci kepada muridku yang satu ini pupus sudah. Erima kasih Davy, terima kasih
anakku, kau mengajariku bagaimana menjadi guru sejati.
Lereng Tidar, 4 Oktober 2011
F.
Pancawati Puji Rahayu
SMA
Tarakanita Magelang
No comments:
Post a Comment