Monday, January 30, 2012

Kisah Pribadi seorang Guru yang Patut untuk Direnungkan.. :)


Malu Aku Jadi Guru



Sementara kita berusaha mengajari anak didik kita pelajaran tentang hidup, anak didik kita mengajari kita apa kehidupan itu….

Itulah fakta yang terjadi. Tidak bisa dipungkiri. Kini hanya keberanian kita (baca:guru) saja mau mengakui atau tidak. Kenyataan ini penulis sadari ketika terjadi peristiwa yang (seharusnya) memalukan. Peristiwa ini terjadi di tahun ajaran 2003/2004. Siang itu setelah bel pelajaran jam kedelapan berbunyi, dua polisi datang ke sekolah. Satpam menyampaikan kabar bahwa polisi itu akan bertemu dengan Robert, siswa kelas X1. Selaku wali kelas, dengan dada bergetar aku temui kedua polisi itu.
“ Robert salah apa,Pak? Mengapa akan dibawa ke Polsek? Ada apa dengan Robert?”
Salah satu dari polisi itu mengeluarkan surat pengaduan dari muridku juga, Davy.  Ah.. Davy lapor polisi?  Disertai dengan visum dokter, Davy melaporkan bahwa tulang pipinya retak karena  telah dipukul oleh Robert. Apa yang kaulakukan Davy? Tega-teganya engkau membawa perkara ini ke tangan polisi. Aku tidak habis pikir. Mengapa tidak dimusyawarahkan terlebih dulu? Aku menyesalkan sikap grusa-grusu Davy.
Seketika itu emosiku memuncak. Kemarahan menutup hatiku. Aku membenci Davy.  Aku tahu siapa Robert. Anak Temanggung ini dari keluarga yang pas-pasan. Mengapa terlibat dengan polisi gara-gara berkelahi dengan Davy? Karena saat itu Kepala Sekolah dan waka sedang rapat di Jakarta, dengan ditemani seorang teman guru aku pergi menemani Robert ke Polsek.
Davy tertunduk ketika bertatap mata denganku. Dia sudah ada dulu di Polsek. Dia ditemani dengan paman dan guru BK sekolah kami. Aku heran, kenapa persoalan ini tidak diselesaikan dulu sesuai tata tertib sekolah? Kulihat pipinya baik-baik saja. Sedikit memar memang. Ribuan kalimat tanya hampir saja keluar dari mulutku. Namun, kutelan kembali secara perlahan. Proses pemeriksaan pun dimulai. Aku buta cara pengadilan ala polisi. Yang pasti Robert tanpa ada orang yang mendampingi dibawa masuk ke sebuah ruangan untuk diinterogasi. Baru sejam kemudian rombongan keluarga Robert datang dari Temanggung. Ibunya hanya bisa menangis. Aku mencoba menghiburnya. Dengan harapan Robert tidak masuk penjara.
Hari pertama yang melelahkan. Kami semua pulang dengan lesu. Polsek kami tinggalkan. Robert bersama keluarganya pulang Temanggung. Davy dan pamannya pulang ke Muntilan. Aku pulang dengan membawa pertanyaan tanpa jawaban. Esok hari kami harus datang lagi untuk melanjutkan pemeriksaan.
Pagi harinya kuceritakan kasus Robert dan Davy kepada teman-teman. Karena persoalan sudah dibawa ke polisi, pihak sekolah tidak mampu berbuat apa-apa. Kepala sekolah dan waka kesiswaan yang sedang rapat di Jakarta mendelegasikan pendampingan masalah siswa kelas X1 ini kepadaku. Dengan ditemani teman dari kantor TU, kami melanjutkan pemeriksaan di polsek. Davy dan Robert sudah ada di sana. Robert belum ada keluarganya. Sedangkan Davy sudah ditemani pamannya. Ketika kami datang, proses pemeriksaan belum dimulai. Entah karena apa. Davy dan Robert duduk agak jauh. Aku langsung duduk mendampingi Robert. Kuelus rambut kumalnya. Rasa iba memenuhi rongga dadaku. Tak ada sinar harapan dari matanya.
“ Bu.., saya menyesal” hanya kalimat itu yang mampu keluar dari mulutnya. Namun, cukuplah bagiku. Robert memang bersalah telah memukul Davy . Menurut guru BK kami hanya persoalan sepele. Sungguh peristiwa yang lepas dari pengawasan kami. Kami teledor. Robert anak yang temperamental ini memang salah, tetapi tidak harus berurusan dengan polisi. Kesalahannya tidak sebanding jika harus ditebus dengan hukuman penjara. Davy memang keterlaluan.
“ Ayo kita makan soto dulu,Bert di warung depan itu” ajakku. Robert mengiyakan. Kami ke warung soto depan Polsek. Davy tidak kuajak, dia kutinggalkan dengan tanpa ucapan kata sepatah pun dari mulutku.Sengaja volume suaraku kuperkeras. Ekor mataku sempat menangkap, Davy sekilas memandangku. Aku sudah punya image negatif  kepadanya. Dia memang korban, tetapi aku menjadi tidak simpati dengan tindakannya.
Jam dua belas siang proses pemeriksaan kedua muridku dimulai. Mula-mula diperiksa seorang demi seorang, sendirian. Kami hanya boleh berada di luar. Pemeriksaan dilanjutkan dengan menghadirkan  keluarga masing-masing. Orang tua Robert memohon dengan sangat agar anaknya jangan dipenjara dan kalau memungkinkan diselesaikan dengan damai saja. Kini tinggal pihak Davy dan pamannya. Bersediakah menarik perkaranya?
Sidang hari itu belum selesai. Harus dilanjutkan keesokan harinya karena sudah sore. Hari kedua di Polsek ini lebih melelahkan. Semoga besok sudah bisa selesai. Konsentrasi untuk mengajar menjadi terganggu. Beberapa hari anak-anak di sekolah aku tinggalkan. Semoga ada maksud baik di balik peristiwa ini.
Hari ketiga aku harus menemani Robert lagi ke Polsek. Sampai di Polsek aku melihat orang tua Robert sudah berbicara dengan pamannya Davy. Suasana tampak lebih cair. Wah, moga-moga menemukan kesepakatan yang tidak merugikan salah satu pihak. Benar, ternyata pihak Paman Davy mau menarik perkaranya. Legalah hatiku. Meskipun pihak pelapor, yakni pihak Davy harus memberikan kompensasi kepada pihak kepolisian. Namun, kompensasi itu kemudian ditanggung oleh kedua belah pihak.
Persoalan Davy dan Robert sudah selesai. Kedua muridku ini kembali mengikuti KBM. Namun, tidak bagi siswa yang lain. Inilah kasus baru yang harus dihadapi sekolah. Teman-teman Robert banyak yang bersimpati dengan kasus ini. Alhasil, Davy di kelas terkucilkan. Sebagai wali kelas aku berusaha bertindak objektif. Namun, di sinilah kealpaanku. Davy di mataku sudah memiliki cacat.  Aku alpa menyapanya. Dia kuanggap tidak ada di kelas X1.Kini dia menjadi pendiam dan terisolasi. Hingga pada suatu hari dia menghadapku.

“ Bu.. bisakah saya menyampaikan sesuatu?” Aku mengangguk. Kuajak dia ke ruang tamu. Sekolah sudah sepi, hanya beberapa siswa dan teman guru yang belum pulang. Davy mengeluarkan selembar kertas kumal padaku. Kubaca tulisan pinsil yang agak kabur itu. Sebuah puisi, Davy memang pintar menulis puisi.
Ketika aku masuk ke sini, harapanku banyak sekali
Selain teman sejati, ilmu pengetahuan itu pasti
Kata orang dengan sekolah aku bisa berubah
Kata orang dengan sekolah aku bisa berbuah

Namun, kini baru  setengah semester ini
Apa yang terjadi? Aku terpojok menyendiri
Dengan persoalan yang abadi menjadi milik pribadi
Tak ada yang peduli, termasuk guruku yang satu ini
Sakit hati ini..sakit sekali..
Bu Guruku yang baik hati kenapa kau tega melukai batin ini?


Merah mataku seketika dan napasku terengah-engah. Kata-katanya tajam tepat menohok harga diriku. Kutarik napasku dalam-dalam. Kutelan kemarahanku yang hampir tumpah. Kupejamkan mataku cukup lama. Darah yang naik ke ubun-ubun  pelan-pelan kuredakan. Saat itu aku tak mampu berkata sepatah kata pun. Namun, dalam hatiku terjadi perang. Beranikah aku mengakui kebenaran kata-katanya?
            Aku akhirnya mengaku kalah dan salah.Maafkan aku Davy, kau telah mengingatkanku. Dalam peristiwa ini kau mengajari aku untuk bisa rendah hati. Rasa maluku semakin menjadi saat teringat cuplikan tulisan Doni Koesoema A. dalam “Pendidik Karakter di Zaman Keblinger” : guru berperan bukan hanya sebagai pelaku perubahan yang menggerakkan roda transformasi sosial dan ekonomi dalam masyarakat. Lebih dari itu, guru bisa memiliki peranan utama sebagai pendidik karakter. Ia bukan saja mengubah anak didik menjadi pandai, melainkan membekali mereka dengan keutamaan dan nilai-nilai yang mempersiapkan mereka menjadi insan yang bertanggung jawab terhadap diri sendiri,orang lain, dan masyarakat.
Duh, Gusti…malu aku  jadi guru yang patut digugu dan ditiru.. Tuhan telah menegurku melalui puisi Davy. Rasa marah dan benci kepada muridku yang satu ini pupus sudah. Erima kasih Davy, terima kasih anakku, kau mengajariku bagaimana menjadi guru sejati.



                                                                                         Lereng Tidar, 4 Oktober 2011
                                                                                         F. Pancawati Puji Rahayu
                                                                                         SMA Tarakanita Magelang

No comments:

Post a Comment

Pages

Labels